Rabu, 22 Januari 2025

Kerajaan Mataram Kuno

 Kelompok 3 Kerajaan Mataram Kuno


Anggota: 

1. Aji Muhammad Raihan/4
2. Feodora Melissa/18
3. Freya Navasheea Machidinata/20
4. Karina Maharani Al Fatika/22
5. Mevva Callysta Justin/25
6. Rifa Nafiisah Putri/31


    Kerajaan Mataram Kuno adalah kerajaan dengan corak Hindu dan corak Buddha yang berkembang mulai dari abad ke-8 sampai dengan abad ke-11. Kerajaan ini mulanya didirikan oleh Raja Sanjaya, dan tahtanya dilanjutkan sejumlah dinasti Syailendra dan dinasti Isyana setelah meninggalnya sang pendiri kerajaan. Kata “Mataram” sendiri diambil dari Bahasa Sansekerta “Matr” yang memiliki arti sebagai “ibu”. Banyak sejarawan yang mendeskripsikannya Kerajaan Mataram Kuno sebagai bentuk personifikasi sosok ibu yang melambangkan kehidupan, alam dan lingkungan.

    Selain terkenal dengan nama “Mataram Kuno”, kerajaan ini juga banyak disebut dengan istilah “Medang” oleh penduduk Jawa. Istilah Medang ini muncul dari berbagai prasasti yang ditemukan di berbagai lokasi di sekitar Jawa Tengah dan juga di Jawa Timur. Letak Kerajaan Mataram Kuno berada di Jawa Tengah sebelum akhirnya berpindah ke Jawa Timur. Masyarakat Mataram Kuno sangat bergantung pada pertanian dan hasil laut. Kerajaan ini memiliki mata uang bernama "Masa dan Tahil" yang berupa koin perak dan emas. Masyarakat terbagi menjadi bangsawan, pelayan istana, rohaniwan, dan rakyat biasa.


MASA BERDIRINYA KERAJAAN MATARAM KUNO

    Kerajaan Mataram Kuno diperkirakan berdiri pada abad ke-7, dengan Raja pertamanya adalah Sanjaya, sebagaimana tercatat dalam Prasasti Mantyasih. Berdasarkan Prasasti Canggal, sebelum Sanjaya, wilayah Jawa pernah diperintah oleh Raja Sanna dari Kerajaan Galuh. Namun, kekuasaan Sanna digulingkan oleh Purbasora, sehingga ia melarikan diri ke Kerajaan Sunda untuk mencari perlindungan dari Raja Tarusbawa. Sanjaya, sebagai keponakan Sanna, kemudian diambil sebagai menantu oleh Tarusbawa.

    Setelah menikah, Sanjaya bertekad merebut kembali Kerajaan Galuh. Ia berhasil menguasai Galuh, Sunda, dan juga Kalingga. Setelah itu, Sanjaya mendirikan kerajaan baru yang dikenal sebagai Kerajaan Mataram Kuno. Dalam Prasasti Canggal, Sanjaya disebut dengan gelar Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Kerajaan Mataram Kuno berkembang menjadi salah satu kerajaan besar di Jawa pada masa itu.

Ilustrasi Raja Sanjaya

    Raja Sanjaya memerintah dengan bijaksana dan berhasil mempersatukan kembali Bhumi Mataram dan Bhumi Sambara yang sempat terpisah akibat pemberontakan Ratu Shima. Raja Sanjaya juga membangun candi Hindu di daerah Prambanan. Setelah Raja Sanjaya wafat, ia digantikan oleh putranya yang bernama Panangkaran. Panangkaran adalah raja pertama dari Dinasti Syailendra yang beragama Buddha. Ia membangun candi Buddha di daerah Kalasan dan Mendut.


MASA KEJAYAAN KERAJAAN MATARAM KUNO

    Kerajaan Mataram Kuno mencapai masa kejayaannya di bawah pemerintahan Dinasti Syailendra. Pasalnya, di masa ini,  Perkembangan Kerajaan Mataram juga mencakup beberapa bidang, mulai dari kesenian, ilmu pengetahun, potlitik, hingga sosial. Di samping itu, pada masa pemerintahan Raja Dyah Balitung, Kerajaan Mataram juga meninggalkan banyak prasasti di kawasan Jawa Tengah, Yogyakarta, hingga Jawa Timur.

    Masa kejayaan Kerajaan Mataram Kuno ditandai dengan perluasan wilayah kekuasaan, termasuk ke Semenanjung Malaka dan Chenla (Kamboja), serta pencapaian besar seperti pembangunan Candi Borobudur. Raja Sri Dharmatungga merupakan raja pertama dari Dinasti Syailendra yang memulai kejayaan ini. Setelahnya, kepemimpinan dilanjutkan oleh Raja Indra yang menaklukkan Chenla, dan Raja Samaratungga yang mendukung perkembangan seni dan membangun Candi Borobudur. Kerajaan Mataram Kuno berpusat di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dengan wilayah kekuasaan yang meluas hingga Semenanjung Malaka dan Chenla (sekarang Kamboja). 

    Masa kejayaan ini berlangsung pada era Dinasti Syailendra, sekitar abad ke-8 hingga abad ke-9 Masehi.  Kejayaan Mataram Kuno tercapai berkat kepemimpinan raja-raja Dinasti Syailendra yang memperluas kekuasaan, memperkuat kerajaan melalui seni, budaya, dan agama, serta membangun infrastruktur monumental seperti Candi Borobudur. Dengan strategi militer yang efektif untuk memperluas wilayah, dukungan terhadap seni dan budaya, serta kontribusi besar dalam agama Buddha melalui pembangunan Candi Borobudur, Kerajaan Mataram Kuno mencapai puncak kejayaannya.


MASA KERUNTUHAN KERAJAAN MATARAM KUNO

    Kerajaan Mataram kuno mengalami keruntuhan pada tahun 1080. Ada beberapa faktu yang menyebabkan keruntuhan pada Kerajaan tersebut.

1. letusan gunung berapi. Lokasi kerajaan yang berada di Jawa Tengah dengan banyak gunung berapi membuat letusan gunung berapi merusak istana kerajaan.

2. Kekosongan kekuasaan dimasa raja terakhir karena sang raja tidak memiliki pewaris tahta sehingga kekuasaan diberikan oleh mpu sindok yang merupakan seorang penasihat kerajaan. Mpu Sindok sendiri kemudian mendirikan dinasti Isyana dan memindahkan ibu kota ke Jawa Timur.

3. Kerajaan mataram kuno juga bermusuhan dengan kerajaan Sriwijaya dengan Wangsa Syailendra. Sehingga mendapat ancaman serangan dari kerajaan Sriwijaya.

    Pada tahun 929 M, Empu Sindok memindahkan ibu kota Mataram Kuno ke Jawa Timur, tepatnya di hilir Sungai Brantas. Pemindahan ini dilakukan karena wilayah tersebut masih dalam kekuasaan Mataram Kuno dan dianggap lebih strategis, dengan tanah subur dan akses pelayaran menuju Laut Jawa. Kerajaan ini kemudian dikenal sebagai Mataram Kuno di Jawa Timur atau Kerajaan Medang.


RAJA-RAJA MATARAM KUNO DAN KONTRIBUSINYA

Sumber: Kita bisa

  • Sanjaya (732–760 M) Mendirikan Dinasti Sanjaya dan mengembangkan agama Hindu, pendirian Lingga di Kunjarakunja tercatat dalam Prasasti Canggal.
  • Rakai Panangkaran (760–780 M) Mendukung agama Buddha Mahayana dan mendirikan Candi Kalasan untuk Dewi Tara.
  • Rakai Pikatan (840–856 M) Menyatukan Dinasti Sanjaya dan Syailendra melalui pernikahan. Memulai pembangunan Candi Prambanan sebagai pusat peribadatan Hindu.
  • Rakai Kayuwangi (856–882 M) Menstabilkan kerajaan setelah konflik internal, dikenal dalam Prasasti Wanua Tengah III.
  • Rakai Watukura Dyah Balitung (899–911 M) Menguatkan administrasi kerajaan dengan mengeluarkan Prasasti Mantyasih yang memuat daftar silsilah raja-raja sebelumnya.
  • Mpu Sindok (929–947 M) Memindahkan ibu kota Mataram Kuno ke Jawa Timur setelah bencana alam di Jawa Tengah. Memulai Dinasti Isyana dan mengembangkan wilayah di sekitar Sungai Brantas.
  • Dharmawangsa Teguh (985–1007 M) Berusaha menerjemahkan kitab Mahabharata ke dalam bahasa Jawa Kuno. Mengembangkan perdagangan maritim dan memperluas pengaruh Mataram.


PENINGGALAN KERAJAAN MATARAM KUNO
Kerajaan Mataram Kuno tercatat memiliki berbagai macam peninggalan yang masih bisa kita saksikan hingga saat ini. Peninggalan tersebut terdiri dari candi, prasasti, dan peninggalan lainnya. 

Candi

1. Candi Bima

2. Candi Kalasan

3. Candi Plaosan

4. Candi Prambanan

5. Candi Sewu

6. Candi Mendut

7. Candi Pawon

8. Candi Puntadewa

9. Candi Semar

10. Candi Srikandi

11. Candi Borobudur

 





Prasasti

  1. Prasasti Canggal (732 M): Ditemukan di Candi Gunung Wukir, ditulis dalam huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta. Isinya tentang pendirian Lingga oleh Raja Sanjaya, menggantikan Sanna. 

  2. Prasasti Kalasan (778 M): Ditemukan di Kalasan, Yogyakarta, menggunakan huruf Pranagari dan bahasa Sanskerta. Isinya pendirian candi Dewi Tara dan biara untuk pendeta oleh Raja Panangkaran atas permintaan keluarga Syailendra.

  3. Prasasti Mantyasih (907 M): Ditemukan di Mantyasih, Kedu, menggunakan bahasa Jawa Kuno. Berisi silsilah raja-raja Mataram hingga Rakai Watukura Dyah Balitung.

  4. Prasasti Klurak (782 M): Ditemukan di Prambanan, ditulis dalam huruf Pranagari dan bahasa Sanskerta. Isinya tentang pembuatan Arca Manjusri oleh Raja Indra.

PENGARUH KERAJAAN MATARAM KUNO DALAM BERBAGAI ASPEK

  1. Aspek Politik
    Kerajaan Mataram Kuno memiliki pemerintahan yang terstruktur rapi dengan sistem monarki. Raja memegang kekuasaan tertinggi dan dianggap sebagai perwujudan dewa di bumi. Peran raja sangat penting dalam memastikan kesejahteraan rakyat dan menegakkan kebenaran serta keadilan (dharma).

  2. Aspek Sosial
    Masyarakat Mataram Kuno hidup rukun dengan semangat gotong royong yang tinggi, terutama dalam pertanian dan pembangunan seperti pembuatan candi atau irigasi. Kehidupan sosial juga diwarnai dengan kemajuan dalam pendidikan dan seni, didukung oleh keberadaan pusat pembelajaran agama dan seni di kerajaan.

  3. Aspek Budaya
    Budaya Kerajaan Mataram Kuno sangat kaya, hasil perpaduan tradisi lokal dengan pengaruh Hindu dan Buddha. Hal ini tercermin dari pembangunan candi-candi besar seperti Borobudur dan Prambanan, yang berfungsi sebagai tempat ibadah, pusat kebudayaan, dan pendidikan.

  4. Aspek Agama
    Kerajaan Mataram Kuno menjadi bukti keberagaman agama, yakni Hindu dan Buddha. Hindu Syiwa berkembang pesat di bawah Wangsa Sanjaya, sementara Buddha Mahayana menjadi dominan pada masa Wangsa Syailendra. Meski berbeda keyakinan, kedua agama hidup berdampingan secara damai, menunjukkan toleransi yang tinggi.

Pesan Moral
Sejarah Mataram Kuno mengajarkan bahwa keberagaman bisa menjadi kekuatan jika diiringi dengan toleransi. Namun, perkembangan zaman sering kali membuat nilai-nilai luhur seperti kerukunan antaragama semakin pudar.

Manusia tanpa harapan adalah kehampaan.
Manusia tanpa agama kehilangan arah.
Manusia tanpa budaya tak punya identitas.
Dan manusia tanpa toleransi kehilangan kemanusiaannya.

Mari jaga keragaman dan toleransi agar kita tetap menjadi bangsa yang beradab


SUMBER

Youtube Kita bisa: https://youtu.be/iEmaSnG3YBU?si=YfKmqVzHuM7ibtnc

https://adjar.grid.id/read/543903701/masa-kejayaan-kerajaan-mataram-kuno-dan-peninggalannya?page=all

https://www.scribd.com/doc/241892619/Kerajaan-Mataram-Kuno

http://widiyatmiko.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/51868/Kerajaan+Mataram+Kuno.pdf

Kamis, 31 Oktober 2024

Gamelan

 TAK HANYA SEBAGAI WARISAN BUDAYA, PELESTARIAN GAMELAN DI DESA WIRUN TERUS BERKEMBANG PESAT 

“Gamelan itu menggambarkan manusia yaitu Luwes (luwes dalam komunikasi), Luas (Luas dalam menerima komentar), dan Lawas (lawas dalam persahabatan)”

-Budiono

    Surakarta, kota yang terkenal dalam harmoni tradisinya yang khas, tempat di mana budaya bukan sekadar warisan, melainkan sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Dari sekian banyak budaya yang lahir di Surakarta, salah satu yang menarik perhatian kami adalah gamelan. 

    Gamelan memiliki bunyi yang mengalun lembut dari setiap gong dan saron, serta instrument lainnya yang membawa kita pada perjalanan melintasi waktu. Sejak masa Keraton Surakarta hingga kini, gamelan telah tumbuh bersama Indonesia, dikenal oleh seluruh wilayah dan generasi yang mengalir dari perkembangan jaman, dan menggema di panggung-panggung dunia. Suaranya yang khas bukan hanya lantunan musik, tapi juga cerita tentang Sejarah leluhur, makna tentang kehidupan, dan tentang kebersamaan. Dari satu generasi ke generasi lainnya, gamelan tetap menjadi alat musik khas Indonesia yang tak punah oleh waktu. 

    Sejarah gamelan di Solo mengalir bak aliran sungai Bengawan Solo, menuntun kita pada akar budaya yang kaya dan berharga. Dikutip dari buku Wiwara: Pengantar Bahasa dan Kebudayaan Jawa karya Harimurti Kridalaksana, karawitan adalah bentuk seni musik tradisional Jawa yang menampilkan nada dan irama tertentu secara harmonis dengan menggunakan gamelan sebagai instrumennya. 

Lokasi Perajin Gamelan Laras Jowo Adi: Gendengan, Wirun, Kec. Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah 57554 

    Bagi pecinta seni dan budaya, nama Mojolaban di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, pasti sudah tak asing lagi. Biasanya para pelajar dan mahasiswa menjadikan tempat ini sebagai tempat tujuan pembelajaran. Desa Wirun di kecamatan ini dikenal sebagai salah satu pusat kerajinan gamelan terkemuka di Indonesia. Bagaimana tidak? di tempat inilah, tradisi pembuatan gamelan diwariskan secara turun-temurun. Daerah Wirun dikenal sebagai tempat perajin gamelan yang autentik di Solo, menurut cerita dari narasumber kami, pada jaman dahulu terdapat 3 perajin yang membuat gamelan di daerah ini. 

    Daerah Wirun menjadi terkenal dalam pembuatan gamelan. Nah di daerah Wirun memiliki sumber daya alam yang melimpah, terutama bahan baku utama seperti logam untuk pembuatan instrumen gamelan. Daerah ini dikenal sebagai penghasil kuningan dan perunggu, dua bahan yang sangat penting untuk menciptakan nada gamelan yang berkualitas. Mengapa gamelan yang berkualitas terbuat dari perunggu? Gamelan berkualitas tinggi sering kali dibuat dari perunggu karena bahan ini menghasilkan suara yang lebih jernih, merdu, dan tahan lama. Ketika perunggu dipukul, getarannya menciptakan resonansi nada yang hangat dan panjang, memberikan kesan hidup pada musik gamelan. Selain itu, perunggu lebih stabil terhadap perubahan suhu, menjaga nada tetap konsisten. Pembuatan gamelan dari perunggu juga dianggap lebih sakral dan bernilai tinggi dalam tradisi Jawa, sehingga instrumen ini menjadi pilihan utama untuk pertunjukan-pertunjukan penting.

    Tradisi dan keterampilan pembuatan gamelan diwariskan dari generasi ke generasi. Banyak pengrajin di Wirun telah belajar dari para leluhur mereka, yang menjadikan pengetahuan tentang seni pembuatan gamelan sebagai bagian penting dari identitas komunitas. Keahlian ini berkembang dengan sempurna seiring waktu, sehingga hasil produksi gamelan dari Wirun terkenal dengan kualitas produksinya yang unggul.

    Selain itu, lokasinya yang dekat dengan pusat kebudayaan seperti Surakarta dan Keraton Surakarta Hadiningrat juga menjadi faktor penting. Keraton memerlukan gamelan berkualitas tinggi untuk acara-acara ritual dan kesenian, dan para pengrajin dari Wirun menjadi pemasok utama kebutuhan tersebut. Dengan perpaduan bahan baku yang baik, keterampilan turun-temurun, serta hubungan erat dengan pusat budaya, Wirun terus dikenal sebagai salah satu sentra pengrajin gamelan terbaik di Indonesia hingga kini.

    Perajin Laras Jowo Aji ini memiliki pekerja yang tidak hanya berasal dari Mojolaban saja, namun juga dari luar kabupaten seperti dari Karanganyar dan Surakarta. Para pekerja memiliki jam kerja yang fleksibel tergantung banyaknya pesanan. Setiap hari mereka bekerja dari jam 08.00 – 15.00 WIB, apabila membuat gong, para pekerja akan melembur karena bentuknya yang lebih besar.

    Gamelan di Indonesia sebagian besar ricikan atau instrumennya terdiri atas instrument perkusi. Hal ini sesuai dengan kata “Gamel” mendapat akhiran “an” yang berarti dipukul atau ditabuh, walau terdapat instrument petik, tiup, dan gesek. Sesuai dengan keadaan tersebut maka gamelan di Indonesia dapat dibuat dari bahan dasar yang khas, seperti : Gangsa (Perunggu) Gasa – Gangsa (Tembaga dan Rejasa).

    Banyak diantara orang-orang menyebut gamelan Gangsa dengan istilah Gamelan Perunggu. Tetapi menurut para empu pembuat gamelan yang benar adalah Gamelan Gangsa. Karena memang dibuat dari Logam campuran antara tembaga dengan timah putih (rejasa). Yang dimana kedua kata terakhirnya disambung menjadi Ga-sa, sehingga seiring pengaruh kehidupan masyarakat berubah menjadi “Gangsa”.

    Gangsa memiliki unsur-unsur yang sama dengan manusia, diantaranya :

  • Manusia diciptakan dari tanah, sementara timah juga dihasilkan dari tanah
  • Manusia membutuhkan angin sebagai sumber oksigen (pernapasan), sementara proses peleburan timah juga menggunakan angin
  • Kandungan air dalam manusia sekitar 70%, sementara pembuatan gamelan juga membutuhkan air
  • Manusia memanfaatkan api di beberapa keadaan dan situasi, sama seperti proses pembuatan gamelan yang membutuhkan api untuk proses peleburan

    Gamelan Mojolaban memiliki ciri khas tersendiri, yang membedakannya dari gamelan di daerah lain. Salah satu ciri khasnya adalah penggunaan kayu jati berkualitas tinggi sebagai bahan dasar pembuatan gamelan. Gamelan tidak bisa dikerjakan menggunakan alat modern, karena semua menggunakan perasaan. Selain itu, penggunaan kayu jati juga mengandung filosofi yaitu jati diri, artinya tidak mau dibakar dengan kayu lain selain kayu jati. 

    Makna gamelan bukan sekadar rangkaian bunyi dari alat musik tradisional. Ia adalah denyut nadi budaya, jiwa yang menyatukan masyarakat, dan harmoni yang mengalun dari generasi ke generasi. Bagi masyarakat, gamelan adalah simbol keagungan warisan leluhur, seperti yang dikatakan bapak Budi. Setiap perangkat gamelan menggambarkan kyai wali songo sebagai penyebar agama islam, yang setiap nadanya mengajarkan tentang kebersamaan, keseimbangan, dan keselarasan.

    Ketika gamelan dimainkan, bukan hanya telinga yang mendengar, tetapi hati pun turut merasakan. Nada-nada lembut yang keluar dari saron, bonang, kendang, dan gong menyatukan semua yang mendengarnya dalam rasa damai dan syukur. Gamelan mengajarkan kita bahwa keindahan hanya bisa terwujud ketika semua instrumen, meskipun berbeda bunyi dan perannya, mampu bersinergi dalam harmoni yang sempurna. Dalam gamelan, instrumen gong dilambangkan sebagai Tuhan yang memiliki peran sebagai pemulai dan pemberhentian dalam permainan karawitan. Ngrawit berasal dari kata “ngrawit” adalah keindahan yang dihasilkan dari kerumitan dan keterampilan tinggi.

    Dalam gamelan, masyarakat menemukan refleksi kehidupan: kerja sama untuk menghasilkan nada yang merdu, dan saling menghormati. Setiap pemain memiliki peran yang unik namun saling melengkapi, menciptakan suara yang menggema ke seluruh penjuru, menyatukan perbedaan menjadi kekuatan lho!. Gamelan adalah pelajaran tentang bagaimana keberagaman, jika dirawat dan dihargai, bisa menjadi sumber kekuatan yang tak tertandingi.

Bapak Budiono, pemilik usaha Gamelan Laras Jowo Aji

    Bagi masyarakat, gamelan bukan hanya bunyi. ia adalah doa, kisah, dan pengingat bahwa dalam dunia yang penuh hiruk-pikuk, selalu ada ketenangan di antara nada-nada yang selaras. Gamelan adalah napas dari tanah yang mencintai kedamaian, dan selama ia dimainkan, masyarakat akan terus terhubung dengan akar budaya mereka, menyelami kedalaman jati diri yang sejati. Pembuatan gamelan di Desa Wirun merupakan salah satu pelestarian warisan budaya yang kaya akan makna dan filosofi. Seluruh proses pembuatan gamelan menggambarkan segala aspek kehidupan manusia. Gamelan bukan sekedar alat music biasa, tetapi juga refleksi kehidupan, pelajaran tentang keberagaman, dan pengingat akan ketenangan di tengah kehidupan. Melalui gamelan, masyarakat dapat menemukan jati diri di dalam hidup mereka.

LINK VIDEO: https://youtu.be/WwSX7z86LRM 


DOKUMENTASI